1. Tambak na Timbo
Dari gundukan tanah di pusara seseorang yang dikubur dapat diketahui apakah yang berkubur di situ sudah bercucu atau belum. Kalau belum bercucu maka pusara itu biasa saja. Tetapi apabila sudah bercucu dan diberangkatkan dengan adat nagok, yaitu marboan, maka gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi. Untuk membuat gundukan tanah itu lebih lebar dan lebih tinggi diperlukan bongkah-bongkah tanah yang dalam bahasa Batak Toba disebut buki, gogat, atau urbing. Menurut Helman Billy Situmorang untuk kuburan yang sarimatua bongkah tanah (buki) itu 5 tingkat, dan untuk yang saurmatua dan saurmatua bulung bongkah tanah itu 7 tingkat.” Ada juga yang menggunakan ukuran meter, tinggi 1,5 meter lebar 0,5 meter, dan panjangnya 3 meter.”. Gundukan tanah yang ditinggikan di atas kuburan inilah yang disebut tambak atau dolok-dolok na timbo.
2. Batu Napir
Secara harfiah batu napir berarti batu yang keras. Batu napir adalah bangunan yang terbuat dari bahan batu dan semen, yang dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan untuk 5 atau lebih (satu keluarga atau satu oppu) Nama lain yang lazim dipakai untuk nama bangunan seperti ini adalah simin. Adakalanya disebut juga tambak, bahkan ada yang menyebutnya tugu. Namun dalam buku ini batu Napir walaupun bangunannya cukup besar seperti tugu. Yang dimaksud Tugu adalah banguan besar sebagai suatu simbol marga tertentu di dalamnya bukan kuburan tetapi berupa meseum dan beruba kamar-kamar penginapan dsb.
Di dinding bangunan yang dinamakan batu napir tersebut dibuatkan rak-rak untuk meletakkan tengkorak. Apabila yang dikubur di situ sudah lama, lalu kapling itu akan digunakan oleh yang baru meninggal, maka yang lama itu digali dan tengkoraknya pun ditaruh di atas piring dan diletakan di rak yang tersedia. Nama pemilik tengkorak pun dibuatkan agar dapat dibedakan dengan tengkorak lainnya.
Salah satu syarat yang utama untuk boleh membangun batu napir di satu desa ialah keluarga yang membangun batu napir tersebut harus mempunyai huta di desa tersebut. Artinya, keluarga pendatang (paisolat) tidak boleh membangun batu napir di desa tersebut. Adakala pembanguan Batu Napir ini dana pembangunannya dikumpulkan secara gotong royong di dalam keluarga atau marga tersebut, setelah bangunan selesai sebelum dapat dipergunakan sebagai tempat tulang belulang keluarga terlebih dahulu diadakan acara adat dengan melibatkan Dalian Natolu, dimulai dengan acara rembuk keluarga, acara ibadah dan godang sabangunan bahkan ada pesta tersebut 3 hari 3 malam hal ini demikian lama dan panjang karena dalam acara pesta ini melibatkan Dalihan Natolu dari seluruh keluarga besar pesta tersebut.
Pada tahap awal tulang belulang yang dimasukan ke dalam Batu Napir ini adalah tulang-belulang yang dibawa oleh masing-masing keturunannya dari perantauan
dimasukkan dalam peti-peti kecil dan dibungkus kain putih dan puncak acara pesta gondang ini adalah menaikan tulang-belulang tersebut kedalam Batu Napir, dimana sebelum di naikkan ke batu na pir ini terlebih dahulu diadakan ibadah yang dipimpin oleh Pastur atau Pendeta. Untuk selanjutnya Batu Napir ini secara alami akan diisi para orang meninggal yang merupakan keluarga besar mereka dengan maksud agar supaya seluruh keluarga besar ini apabila melakukan ziarah cukup datang ke Batu Napir ini.
3. Tugu
Sebutan tugu dalam buku ini adalah bagunan besar dan mega biasa yang dibangun di tempat strategis di desa tempat keturunan satu leluhur bermukim. Adakalanya tugu itu dibangun atas nama leluhur marga, ada juga atas nama satu cabang ompu generasi kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Misalnya Manihuruk di Harapohan Samosir merupakan Tugu seluruh marga Manihuruk (3 ompu yakni Ompu Datu Tahan Diaji, Ompu Guru Marsingal dan Ompu Guru Nianggapan) saat ini diadakan pesta secara rutin 3 tahun sekali sebagai ajang silaturami dengan margondang sabangunan 3 hari 3 malam yang diikuti para anak cucu manantu dan para sahabat dari keluarga besar Manihuruk yang datang dari seluruh penjuru dunia demikian juga para keturuannya yang diluar negeri juga datang pada saat pestu Tugu tersebut, sekaligus dalam acara ini mereka memberbaiki atau melengkapi garis keturunan (tarombo) masing keluarga yang bersangkutan dengan demikian daftar garis keturuan Marga Manihuruk sedunia valid dan terdokumentasi dengan baik dan benar. Disamping pesta tersebut biasanya dilaksanakan ajang pengabdian sosial misalnya pemeriksaan dokter gratis dan aksi sosial lainnya yang dilaksanakan dan dikerjakan dengan panitia pesta tersebut.
إرسال تعليق
Silahkan berkomentar dengan sopan. Trimakasi