Adat Budaya Batak Acara Babtis (Tardidi)

Adat Budaya Batak Acara Babtis (Tardidi), Dalam Agama Kristen dalam pemberian nama anak terlebih dahulu dalam pelaksanaannya  babtis oleh pendeta/pastor di Gereja, karena suka cita orang tua anak mengadakan pesta  babtis ini dengan mengundang sanak keluarga termasuk dalihan na tolu,  termasuk akan ada penyerahan tudu-tudu sipanganon, ikan mas dan ulos atau parompa. 

Adong do sipata na mangulahon partangiangan holan nasida sekeluarga di jabu molo  tardidi dakdanakna (dung mulak sian gareja).  Alai molo tarpatupa pesta partangiangan patuduhon las ni rohana, na uli do. Molo tarpatupa  pesta partangiangan, jouon ma:  

1. Dongan tubu  pada Adat Budaya Batak

“Dongan Tubu” adalah istilah dalam bahasa Batak yang memiliki arti harfiah sebagai “hubungan tubuh” atau lebih umumnya dalam artian sebagai “hubungan darah.” Dalam hal ini, konteks budaya Batak, istilah ini merujuk pada hubungan keluarga atau ikatan darah antara anggota keluarga. “Dongan Tubu” menekankan hubungan kekerabatan, dan sejalan dengan tradisi Batak yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga.

Konsep “Dongan Tubu” mencakup tidak hanya hubungan antara orang tua dan anak, tetapi juga melibatkan hubungan antar saudara-saudara, sepupu, kakek, nenek, dan sebagainya. Selanjutnya Pentingnya “Dongan Tubu” tercermin dalam ikatan kuat dan rasa solidaritas yang terjalin di antara anggota keluarga dalam budaya Batak.

Dalam banyak upacara adat dan tradisi Batak, konsep “Dongan Tubu” dapat menjadi bagian dari serangkaian ritual dan praktik yang memperkuat dan merayakan hubungan kekeluargaan. Pemberian hadiah, pemberian nama, dan acara keagamaan adalah contoh-contoh situasi di mana konsep “Dongan Tubu” dapat mengaktualisasikan.

Dalam hal ini, Penting untuk diingat bahwa makna dan praktik “Dongan Tubu” dapat bervariasi di antara sub-suku Batak (seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, dll.) dan keluarga-keluarga tertentu. Meskipun demikian, nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan umumnya tetap menjadi unsur yang kuat dalam budaya Batak.

2. Boru/bere  dalam Adat Budaya Batak

Istilah “boru” dan “bere” memiliki arti khusus dalam tradisi Batak, terutama dalam konteks suku Batak Toba. Kedua kata tersebut merujuk pada sistem penamaan atau pembagian keluarga di dalam suku Batak.

  1. Boru: “Boru” dalam penggunaan untuk merujuk kepada anak perempuan tertua dalam keluarga. Dalam hal ini tradisi Batak, anak perempuan tertua memiliki status dan tanggung jawab tertentu dalam keluarga, dan sebutan “boru” penggunaannya untuk menghormatinya.
  2. Bere: “Bere” adalah istilah yang dalam penggunaannya untuk merujuk kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. Seperti “boru” untuk anak perempuan tertua, istilah “bere” juga mencerminkan status dan peran tertentu bagi anak laki-laki tertua di dalam keluarga.

Penggunaan “boru” dan “bere” ini sering terkait dengan tradisi adat Batak yang menempatkan pentingnya struktur keluarga dan hierarki kekerabatan. Kedua istilah ini tidak hanya sekadar panggilan atau gelar, tetapi juga mencerminkan posisi dan peran khusus dalam dinamika keluarga Batak.

Selain itu, “boru” dan “bere” juga dapat menyertakan nama keluarga atau marga. Contohnya, seorang perempuan yang menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga marga Siregar akan pemanggilannya sebagai “Boru Siregar,” dan seorang laki-laki yang menjadi anak laki-laki tertua di keluarga marga Siregar dalam penyebutannya sebagai “Bere Siregar.”

Penting untuk diingat bahwa konsep ini mungkin bervariasi di antara sub-suku Batak dan keluarga-keluarga tertentu, dan penggunaannya sering kali terkait dengan konteks budaya dan adat istiadat lokal.

3. Dongan sahuta – Adat Budaya Batak

“Dongan Sahuta” adalah istilah dalam bahasa Batak yang memiliki arti harfiah sebagai “hubungan saudara.” Istilah ini mencerminkan konsep ikatan kekeluargaan dan solidaritas antara saudara atau anggota keluarga dalam tradisi Batak.

“Dongan Sahuta” menekankan pentingnya hubungan darah dan ikatan kekeluargaan dalam budaya Batak. Konsep ini mencakup tidak hanya hubungan antara saudara kandung, tetapi juga melibatkan hubungan antara sepupu, paman, bibi, dan anggota keluarga yang lebih luas.

Dalam budaya Batak, “Dongan Sahuta” mencerminkan nilai-nilai seperti gotong royong, saling membantu, dan saling merawat di antara anggota keluarga. Solidaritas dan rasa kebersamaan menganggap sebagai hal yang penting dalam membangun hubungan antar-saudara.

Pentingnya “Dongan Sahuta” juga tercermin dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, pertunangan, atau acara keluarga besar. Selama acara-acara ini, anggota keluarga berkumpul untuk merayakan dan memperkuat hubungan kekeluargaan.

Dalam konteks “Dongan Sahuta,” penting untuk diingat bahwa praktik dan konsep ini dapat bervariasi di antara sub-suku Batak dan keluarga-keluarga tertentu. Meskipun demikian, nilai-nilai kekeluargaan dan rasa kebersamaan umumnya tetap menjadi unsur yang kuat dalam budaya Batak.

4. Hula-hula  

“Hula-hula” dalam bahasa Batak Toba mungkin merujuk pada istilah atau konsep tertentu yang tidak saya kenal atau informasi yang belum mencapai pengetahuan saya hingga Januari 2022. Sumber daya saya mencakup data sampai saat itu, dan terkadang ada variasi lokal atau istilah khusus yang mungkin tidak terdokumentasi secara luas.

Jika “hula-hula” adalah istilah atau konsep khusus dalam budaya atau tradisi Batak yang tidak umum, mungkin Anda dapat memberikan konteks atau informasi tambahan. Ini akan membantu saya memberikan jawaban yang lebih akurat atau merinci tentang apa yang lebih jelas dengan “hula-hula” dalam konteks Batak Toba.

Baca Juga :

Punguan adalah sebuah istilah dalam budaya Batak yang merujuk kepada perkumpulan

Hula-hula mamboan Adat Budaya Batak

 Ndang pola sahat gongkhon tu tulang (tulang ni natoras ni na tardidi) alana ulaon na  metmet do on.  Hula-hula mamboan:  

1. Parbue gabe 

“Parbue” dalam bahasa Batak Toba berarti “selamat” atau “bahagia.” Istilah ini sering dalam penggunaannya untuk menyampaikan ucapan selamat atau kebahagiaan dalam berbagai konteks, seperti pernikahan, kelahiran, atau acara-acara penting lainnya.

Jika penambahanyan kata “Batak” setelahnya, bisa dalam artian sebagai “selamat dalam budaya Batak” atau “selamat menurut adat Batak.” Ini menunjukkan konteks kebudayaan dan tradisi Batak dalam penggunaan kata “parbue.” Contohnya, “Parbue Batak” dapat dalam penggunaanya sebagai ucapan selamat dalam konteks budaya Batak, yang melibatkan nilai-nilai kekeluargaan dan tradisi adat.

Selain itu, dalam berbagai peristiwa atau upacara adat, ungkapan “Parbue Batak” bisa menjadi bagian dari doa atau ucapan yang dalam peyampaian untuk merayakan suatu kebahagiaan atau momen spesial dalam kehidupan masyarakat Batak.

“Gabe” dalam bahasa Batak Toba sebenarnya memiliki makna “sudah” atau “telah.” Kata ini biasanya dalam penggunaannya untuk menyatakan bahwa suatu peristiwa atau tindakan sudah terjadi pada waktu lampau.

Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan “Ahu gabe mangan,” itu berarti “Aku sudah makan.” Jadi, “gabe” dalam hal ini menunjukkan bahwa tindakan makan telah terjadi pada waktu sebelumnya.

Penting untuk memahami bahwa dalam bahasa Batak, makna kata dapat bervariasi tergantung pada konteks kalimat dan penggunaannya. Jika ada pertanyaan lebih lanjut atau jika Anda ingin informasi lebih rinci, silakan beri tahu saya.

2. Dengke  

Dalam konteks Batak Toba, kata “dengke” dapat merujuk pada makanan atau hidangan yang dalam penyebutannya “dengke ni dengku” atau “dengke ni parpadanan.” Hidangan ini merupakan bagian dari tradisi kuliner Batak Toba.

“Dengke” biasanya berupa gulai ikan atau daging yang proses masakannya dengan santan kelapa dan bungkusannya dalam daun pisang sebelum masak lebih lanjut. Proses pembungkusan ini memberikan cita rasa yang khas dan aroma harum pada hidangan. Hidangan ini seringkali tersajikan pada acara-acara khusus, seperti pesta pernikahan, upacara adat, atau acara keluarga besar.

Ciri khas lain dari hidangan “dengke” adalah penggunaan bumbu dan rempah-rempah tradisional Batak, yang memberikan rasa yang khas dan nikmat. “Dengke” bisa terbuat dari berbagai jenis daging, seperti ikan, daging sapi, atau daging kerbau, tergantung pada preferensi dan ketersediaan bahan makanan.

Penting untuk diingat bahwa istilah ini dapat memiliki variasi dalam penggunaannya di antara keluarga dan komunitas tertentu di wilayah Batak Toba. Selain itu, ada kemungkinan bahwa istilah “dengke” juga dapat merujuk pada hal atau makna lain tergantung pada konteksnya.

3. Ulos parompa  

Adat Budaya Batak Parbue gabe pintor tarpasahat do on disi sahat nasida tu jabu, ia dengkena sahat  ma andorang so marsipanganon (laho mangan), pamoruon pasahat tudutudu ni  sipanganon tu hulahulana. Na mamilang tangiang laho marsipanganon pamoruon do alai  na mangujungi hulahula ma. Sidung marsipanganon mambagi jambar ma songon na masa  di luat i.  

Ulos Parompa adalah jenis kain ulos yang memiliki makna dan nilai khusus dalam tradisi Batak Toba. Demikian juga Ulos adalah sejenis kain tenun tradisional yang berasal dari suku Batak di Sumatra Utara, Indonesia. Ulos Parompa memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari ulos-ulos lainnya.

Beberapa hal yang mungkin terkait dengan Ulos Parompa:

  1. Motif dan Warna: Ulos Parompa memiliki motif dan warna tertentu yang memiliki makna simbolis dalam konteks budaya Batak. Motif dan warna tersebut sering kali mencerminkan status sosial, tahap kehidupan, atau peristiwa khusus dalam kehidupan keluarga.
  2. Acara Adat: Ulos Parompa sering penggunaannya dalam berbagai acara adat atau upacara kehidupan suku Batak Toba. Ini termasuk acara pernikahan, pangururan (sunting rambut bayi), dan berbagai upacara adat lainnya.
  3. Simbol Kehormatan dan Pemberian: Pemberian Ulos Parompa sering anggapan sebagai simbol kehormatan dan kasih sayang. Dalam beberapa konteks, Ulos Parompa mungkin dalam pemberian sebagai hadiah pada momen-momen penting dalam kehidupan seperti pernikahan atau kelahiran anak.
  4. Warisan Budaya: Ulos Parompa juga dalam anggapan sebagai warisan budaya yang harus terjaga dan terhormati. Penciptaan dan pemeliharaan ulos melibatkan keterampilan tradisional yang turun dari generasi ke generasi.

Setiap motif pada Ulos Parompa memiliki cerita dan makna tertentu, dan pilihan warna sering kali memiliki signifikansi dalam tata nilai budaya Batak. Selain itu, Ulos Parompa juga bisa menjadi penanda identitas suku, marga, atau keluarga tertentu.

Andorang so tarpasahat dope hata gabe, pasahaton ni hulahula ma ulos parompa tu na  tardidi, herbang do teruloshon sian jolo.  Urutan ni angka na pasahat ulos parompa:  

1. Ompung baona  

Ompung: Dalam bahasa Batak, “Ompung” adalah sebutan hormat untuk orang tua atau kakek/nenek. Ini merupakan kata yang dalam pemapakaiannya untuk menyapa atau merujuk pada orang yang lebih tua atau memiliki posisi yang lebih tinggi dalam keluarga. Ompung bao dari pihak perempuan

2. Tulang ni na tardidi 

Dalam budaya Batak Toba, terdapat beragam panggilan yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang lebih tua. Setiap panggilan memiliki makna dan konteks yang berbeda. Berikut adalah beberapa jenis panggilan yang umum digunakan dalam masyarakat Batak Toba:

  1. Opung Doli atau Opung Boru: Panggilan ini digunakan untuk kakek dan nenek kita. Selain itu, opung juga dapat merujuk kepada saudara dari kakek dan nenek kita, atau orang-orang yang kedudukannya setara dengan mereka.
  2. Amang atau Inang: Amang adalah sebutan untuk ayah, sedangkan inang adalah sebutan untuk ibu. Jika yang dimaksud adalah orang tua secara kolektif, kita memanggil mereka dengan sebutan natoras atau natua-tua.
  3. Amangtua atau Inangtua: Panggilan ini memiliki makna yang sama dengan pakde dan bude dalam adat Jawa. Amangtua adalah sebutan untuk kakak laki-laki ayah, sementara inangtua adalah sebutan untuk istri dari amangtua kita.
  4. Amangboru atau Namboru: Namboru (atau lebih sering disebut bou) adalah panggilan untuk saudara perempuan dari ayah kita, dan tidak dipengaruhi oleh usia. Artinya, baik itu kakak maupun adik perempuan ayah kita memiliki panggilan yang sama.
  5. Amanguda atau Inanguda: Panggilan ini memiliki arti sebaliknya dari amangtua dan inangtua. Jika dilihat dari sudut pandang keluarga ayah, amanguda merujuk kepada adik laki-laki dari ayah kita, dan istrinya disebut dengan inanguda. Sementara jika dilihat dari sudut pandang keluarga ibu, inanguda adalah sebutan untuk adik perempuan dari ibu kita, dan semuanya disebut dengan amanguda.
  6. Tulang atau Nantulang: Panggilan ini mungkin yang paling banyak didengar oleh orang-orang yang bukan berdarah Batak. Tulang digunakan untuk paman atau saudara laki-laki kandung dari ibu, baik itu abang ataupun adiknya. Panggilan ini juga berlaku untuk laki-laki yang semarga dengan ibu yang sama urutannya. Selain itu, tulang juga dapat digunakan untuk memanggil anak laki-laki dari saudara laki-laki nenek123.

Semoga penjelasan ini membantu Anda memahami lebih lanjut tentang budaya dan adat istiadat di kalangan suku Batak Toba! ??

3. Dohot uduran nasida 

Dung i pe asa mangalehon hata pasu gabe:  

1 Boru ni hula-hula  

2. Dongan tubu ni hula-hula  

3. Hula-hula tangkas  

Mangampu ma

Dung simpul sude, dipasahat ma tu pihak pamoruon asa mangampu. Andorang so  mangampu, jolo pasahatonna do pasituak na tonggi tu hula-hulana dohot uduranna molo  adong tupa, alai molo ndang adong tong do uli ulaon i.  

Mangampu ma pamoruon:  

1. Dongan sahuta  

2. Boru/bere  

3. Dongan tubu  

4. Hasuhuton  

Biasa angka piga-piga punguan adong di pasahat bantuan berupa hepeng dibagasan  amplop berdasaron Anggaran Dasar dohot Anggaran Rumah Tangga ni Punguan i.  Sidung sude mangampu dipasahat protokol nasida ma tu hula-hula laho mangujungi dohot  ende/tangiang.  

Sumber :

Buku Ch Simanihuruk

By Batam Publisher Bagian Kebudayaan

0 Komentar

Silahkan berkomentar dengan sopan. Trimakasi

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan sopan. Trimakasi

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama